1. Perjanjian pada Umumnya
1.
Pengertian
Perjanjian dan Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan yang diatur dalam
Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di bawah judul “Tentang
Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”, dengan
menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pasal ini menerangkan secara
sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua
pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu
lengkap, tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu
terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini
sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling
mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu
pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud
hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua
pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi
baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.[1]
Menurut
Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.[2]
J. Satrio, membagi pengertian perjanjian dalam ari luas dan arti sempit. Dalam
arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak,
termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti
sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan saja, seperti yaang dimaksud dalam Buku III Kuh
Perdata.[3]
Selanjutnya,
mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu
perjanjian adalah sah apabila memenuhi persyaratan: kesepakatan, kecakapan, hal
tertentu, dan sebab yang diperbolehkan.
- Kesepakatan
Yang
dimaksud dengan kesepakatan ialah sepakatnya para pihak yang mengikatkan diri,
artinya kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang
bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas
atau secara diam. Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila
dibuat atau didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan.[4]
- Kecakapan
Yang
dimaksud kecakapan adalah adanya untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum,
kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan
menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali
orang-orang yag menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap yakni:[5]
a. Orang-orang
yang belum dewasa
Orang-orang
yang dianggap belum dewasa adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan
tidak telah kawin (Pasal 330 KUH Perdata), tetapi apabila seseorang berumur 21
tahun tetapi sudah kawin dianggap telah dewasa menurut hukum. [6]
b. Orang
yang berada di bawah pengampuan
Orang
yang dianggap di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam
keadaan gila, dungu, atau lemah akal walaupun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya dan seorang dewasa yang boros (Pasal 433 KUH Perdata).[7]
c. Perempuan
yang telah kawin
Menurut
Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 108 KUH Perdata, perempuan yang telah
kawin tidak cakap membuat suatu perjanjian lain daripada itu masih ada yang
cakap untuk bertindak tetapi tidak berwenang untuk melakukan perjanjian, yaitu
suami istri yang dinyatakan tidak berwenang untuk melakukan transaksi jual beli
yang satu pada yang lain (Pasal 1467 KUH Perdata). [8]
- Suatu hal tertentu
Menurut
KUH Perdata, hal tertentu adalah:
a. Suatu
hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu hal
atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);
b. Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu
perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata). [9]
- Suatu sebab yang halal
Meskipun
siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada pengecualiannya, yaitu
sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketentuan
umum, moral, dan kesusialaan (Pasal 1335 KUH Perdata).[10]
2.
Asas-Asas
Hukum Perjanjian
a. Asas
konsensualisme
Asas
konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya
kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak,
lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu.
Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan
hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut
sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi perjanjian tersebut.[13]
Ketentuan
yang mengatur mengenai konsensualitas ini ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUH
Perdata, yang mengatur bahwa:
“Untuk
sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
1. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu
pokok persoalan tertentu;
4. Suatu
sebab yang tidak terlarang”.
Asas
konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis perjanjian karena asas ini
hanya berlaku terhadap perjanjian konsensual sedangkan terhadap perjanjian
formal dan perjanjian riil tidak berlaku.[14]
Kedua perjanjian ini, kesepakatan saja belum mengikat para pihak yang berjanji.
Tidak mengikatnya perjanjian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam
perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena dua hal
pokok, yaitu yang meliputi:
a.
Sifat dari kebendaan
yang dialihkan, yang menurut ketentuan Pasal 613, dan Pasal 616 KUH Perdata
penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta
otentik atau akta di bawah tangan. Oleh karena pengalihan dari kebendaan yang
demikian mensyaratkan diperlukannya akta, berarti harus dibuat secara tertulis,
maka segala perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak milik atas
kebendaan tersebut haruslah dibuat secara tertulis.[15]
b.
Sifat dari perjanjian
itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman
kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada umumnya
dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan
hukum, yang selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri,
terlepas dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai
subjek hukum yang mandiri; atau yang menciptakan suatu hubungan hukum yang
berbeda di antara para pendiri. [16]
2. Dalam
perjanjian riil, maka suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat
dari perjanjian itu sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut dari salah satu
pihak dalam perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian
tersebut menjadi ada demi hukum.
b. Asas
kebebasan berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak merupakan asas salah satu asas yang sangat penting dalam
hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya
didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian
pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 BW yang menerangkan tentang syarat
sahnya perjanjian.[17]
Kebebasan
berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk bebas dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:[18]
i) Bebas
menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
ii) Bebas
menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
iii) Bebas
menentukan isi atau klausul perjanjian;
iv) Bebas
menentukan bentuk perjanjian;
v) Kebebasan-kebebasan
lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Asas
kebebasan berkonntrak ini merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang
dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III BW
yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat
menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang
sifatnya memaksa.[19]
Dalam
perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari
beberapa segi, yaitu:
1. Dari
segi kepentingan umum;[20]
2. Dari
segi perjanjian baku (standar);
3. Dari
segi perjanjian dengan pemerintah.
c. Asas
mengikatnya perjanjian (Pacta sunt servanda)
Setiap
orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut
karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji
tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.[21]
d. Asas
itikad baik
Asas
itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.[22]
Dalam melaksanakan haknya seorang kreditur harus memerhatikan kepentingan
debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang
paling sulit bagi debitur mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak
tidak dengan itikad baik. Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim
memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya
itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada
saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.[23]
Menurut
teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi
yang mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini
tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau
tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal
tertentu.[24] Menurut
teori klasik, asas itikad baik hanya berlaku pada saat penandatanganan dan
pelaksanaan kontrak. Sebaliknya, menurut pandangan teori kontrak yang modern
janji pra kontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga pihak yang ingkar
janji dapat dituntut untuk membayar ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan
hukum sehingga ganti rugi yang diberikan hanyalah kerugian nyata (reliance
damages).[25] Oleh
karena itu, perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan karena diingkari
janji-janji pra kontrak terletak dalam asas itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata, yang seharusnya diberlakukan bukan hanya pada saat
ditandatanganinya dan dilaksanakannya perjanjian, tetapi juga pada saat sebelum
ditandatanganinya perjanjian.[26]
3.
Wanprestasi
dan Akibat-Akibatnya
Setiap
perikatan yang lahir dari perjanjian memuat seperangkat hak dan kewajiban yang
harus dilaksanakan atau ditepati oleh para pihak dinamakan sebagai prestasi.
Menepati (nakoming) berarti memenuhi isi perjanjian, atau dalam arti
yang lebih luas “melunasi” (betaling) pelaksanaan perjanjian, yaitu
memenuhi dengan sempurna segala isi, tujuan dan ketentuan sesuai dengan
kehendak yang telah disetujui oleh para pihak. Jika diperhatikan dengan seksama
rumusan yang diberikan dalam Pasal 1234 BW dinyatakan bahwa “Tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu”, maka dapat dilihat bahwa BW sangat menekankan pada kewajiban
pemenuhan perikatan, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu dalam
bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan atau untuk
tidak melakukan sesuatu.[27]
Pentingnya
penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kewajiban
untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau tidak untuk melakukan
sesuatu tersebut disebut dengan prestasi. Prestasi untuk melaksanakan kewajiban
tersebut memiliki 2 (dua) unsur penting. Pertama, berhubungan dengan persoalan
tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yang
berkewajiban. Kedua, berkaitan dengan tanggung jawab pemenuhan kewajiban dari
harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut, tanpa memerhatikan siapa yang
berkewajiban untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sebaliknya kalau debitur tidak
memenuhi prestasi, maka dikenal sebagai wanprestasi.[28]
Menurut
subekti, wanprestasi (kelalaian atau kelapaan) seorang debitur dapat berupa
empat macam[29]:
a. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
J.
Satrio, memaparkan bahwa wujud wanprestasi dapat berupa:
a. debitur
sama sekali tidak berprestasi
Dalam
hal ini, debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini disebabkan,
karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan, karena
memang kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif
tiidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.[30]
b. debitur
keliru berprestasi
Di
sini debitur memang dalam pikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam
kenyataannya, yang diterima kreditur lain daripada yang diperjanjikan. Dalam
hal demikian, tetap dianggap bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi dalam hal
ini, termasuk “penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya”, dalam arti tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan. [31]
c. debitur
terlambat berprestasi
Di
sini debitur berprestasi, objek pprestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana
yang diperjanjikan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, debitur ini
digolongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek prestasinya
masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan alam
keadaan lalai atau mora.[32]
Menurut Yahya Harahap, yang dimaksud wanprestasi adalah
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya. Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan
wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai
sehingga “terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan
prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.[33]
Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian breach
of contract adalah[34]:
“Failure, without legal excuse, to perform
any promise which forms the whole of part of a contract. Prevention or
hindrance by party to contract of any accurance or performance requisite under
the contractfor the creation or continuance of a right in favor of the other
party on the discharge of a duty by him. Unequivocal, distinct and absolute
refusal to perform agreement.”
(kegagalan untuk melaksanakan janji yang
telah diadakan, tanpa disertai alasan yang dapat diterima oleh hukum. Hal ini
mencegah para pihak yang telah bersepakat untuk meninggalkan kewajiban yang
dipersyaratkan, yang telah dituangkan secara tertulis dan jelas jika salah satu
pihak menolak melaksanakan kesepakatan tersebut).
Dalam
praktik hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan debitur wanprestasi
kadang-kadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi
tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian yang prestasinya
untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan
debitur harus memenuhi prestasi itu, sehingga untuk pemenuhan prestasi tersebut
debitur harus lebih dahulu diberi teguran (sommatie ingebrekestelling)
agar debitor memenuhi kewajibannya.[35]
Kelalaian
atau kegagalan merupakan suatu situasi yang terjadi karena salah satu pihak
tidak melakukan kewajibannya atau membiarkan suatu keadaan berlangsung
sedemikian rupa (non performance), sehingga pihak lainnya dirugikan
secara tidak adil karena tidak dapat menikmati haknya berdasarkan kontrak yang
telah disepakati bersama. Karena itu, biasanya cidera janji dirumuskan secara
aktif dalam arti bahwa cidera janji terjadi jika pihak yang berkewajiban tidak
melaksanakan kewajibannya atau secara pasif dengan membiarkan keadaan (yang
seharusnya dicegah) sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan
tertentu. Biasanya tercermin dalam klausula-klausula yang terdapat dalam
perjanjian antara kreditur dengan debitur.[36]
Adapun
yang dimaksud dengan “berada dalam keadaan lalai” adalah peringatan atau
pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi
prestasi. Apabila saat itu dilampauinya, maka debitur ingkar janji
(wanprestasi). Dalam hal debitur dinyatakan dalam kondisi lalai (ingebreken)
diatur dalam Pasal 1238 BW, yang isinya “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai atau dengan perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan bahwa yang
berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Jadi
pernyataan lalai (ingebrekestelling) adalah upaya hukum (rechtmidde)
dengan mana kreditur memberitahukan, menegur, memperingatkan (anmaning,
sommatie, kenningsgeving) debitur saat selambat-lambatnya ia wajib memenuhi
prestasi dan apabila itu dilampaui, maka debitur dinyatakan ingkar janji
(wanprestasi).[37]
Akibat
tidak dipenuhinya perikatan, kreditur dapat meminta ganti rugi dan bunga yang
dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi debitur, maka undang-undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).
Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai pada
suatu fase, yang mana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). Maka
penetapan lalai tidak diperlukan apabila dalam perjanjian ditentukan verval
termijn; debitur mengakui bahwa ia dalam keadaan lalai, sehubungan
ketentuan penetapan lalai merupakan peraturan yang bersifat mengatur dan dibuat
untuk kepentingan debitur.[38]
Penetapan
lalai harus dituangkan dalam bentuk perintah atau akta yang sejenis dengan itu,
demikianlah ketentuan Pasal 1238 BW. Adapun yang dimaksud dengan perintah oleh
undang-undang dalam suatu exploit dari juru sita, yaitu suatu pesan
lisan; suatu salinan daripada tulisan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
oleh juru sita dan diserahkan kepada yang bersangkutan. Dalam praktik tulisan
semacam itu seringkali disebut exploit. Pada pokoknya pemberitahuan juru
sita. Pemberitahuan tersebut harus ternyata kehendak yang sungguh-sungguh
daripada kreditur. Adanya somasi tersebut, maka menurut hukum debitur telah
dinyatakan wanprestasi.[39]
Apabila
terjadi wanprestasi, kreditur dapat menuntut ganti rugi dan pembatalan.
Ketentuan ganti rugi yang mengatur tentang perikatan-perikatan untuk memberikan
sesuatu, tercantum dalam Pasal 1236 BW, yang menetapkan:
Si berutang adalah berwajib memberikan ganti
biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya
dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya atau telah tidak
merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.
Sedangkan
dalam Pasal 1239 BW mengatur tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu
atau untuk tidak berbuat sesuatu, yang menetapkan:
Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi, dan bunga.
Berdasarkan
Pasal 1236 BW dan 1239 BW, bila debitur wanprestasi, wajib memberikan ganti
biaya, rugi dan bunga. Pengertian rugi (schade) menurut undang-undang,
dimaksud adalah kerugian nyata (feitelijknadee) yang dapat diduga atau
diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul akibat ingkar janji.
Dari beberapa ketentuan tersebut, memberikan perlindungan hukum bagi para pihak
seperti halnya kalau debitur dianggap wanprestasi maka harus ada somasi sebagai
bentuk peringatan bahwa debitur dalam keadaan wanprestasi, maksud agar debitur
segera memenuhi prestasinya, sebaliknya dengan adanya somasi, debitur tidak
memenuhi prestasinya, maka debitur diwajibkan selain memenuhi prestasiny
sebagaimana dalam perihal biaya, rugi, dan keuangan, hal tersebut dimaksudkan
agar kreditur tidak dirugikan oleh ulah debitur.[40]
Mengenai
akibat wanprestasi, Subekti juga memaparkan bahwa terhadap kelalaian atau
kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib
melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu[41]:
a. Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
b. Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c. Peralihan
risiko;
d. Membayar
biaya perkara; kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
4.
Overmacht
dan Akibat-Akibatnya
Dalam
sejarah pemikiran tentang keadaan memaksa terdapat dua aliran atau ajaran,
yakni:
a. Ajaran
yang obyektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut.
Menurut
ajaran keadaan memaksa obyektif, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila
pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan
oleh siapapun juga atau oleh setiap orang.
Dalam ajaran ini, tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat,
sehingga dalam keadaan demikian siapapun tidak dapat memenuhi prestasi. Juga
jika barang musnah atau hilang di luar perdagangan, dianggap sebagai keadaan
memaksa.[42]
b. Ajaran
yang subjektif (de subjectieve overmachtsleer) atau relatif.
Menurut ajaran keadaan
memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih
mungkin melaksanakan prestasi, tetapi praktis dengan kesukaran atau pengorbanan
yang besar (ada unsur diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu
kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi.[43]
Dalam
literatur lain, dipaparkan mengenai jenis-jenis keadaan memaksa menurut
pendapat para ahli[44]:
a. Berdasarkan
penyebab
i) Overmacht karena keadaan alam, yaitu
keadaan memaksa yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang tidak dapat
diduga dan dihindari oleh setiap orang karena bersifat alamiah tanpa unsur
kesengajaan, misalnya banjir, longsor, gempa bumi, badai, gunung meletus, dan
sebagainya;
ii) Overmacht karena keadaan darurat,
yaitu keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yag tidak
wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat,
tanpa dapat diprediksi sebelumnya, misalnya peperangan, blokade, pemogokan,
epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya adanya
kerusakan suatu alat yag menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perikatan;
iii) Overmacht karena musnahnya aatau
hilangnya barang objek perjanjian;
iv) Overmacht karena kebijakan atau
peraturan pemerintah, yaitu keadaan memaksa yang disebbkan oleh suatu keadaan
di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya
kebijakan yang baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung,
misalnya terbitnya suatu peraturan pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan
suatu objek perjanjian/perikatan menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.
b. Berdasarkan
sifat
i) Overmacht tetap; yaitu keadaan memaksa
yang mengakibatkan suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan atau tiak dapat
dipenuhi sama sekali;
ii) Overmacht sementara, adalah keadaan
memaksa yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda daripada waktu
yang ditentukan semula dalam perjanjian. Dalam keadaan yang demikian, perikatan
tidak berhenti (tidak batal), tetapi hanya pemenuhan prestasinya yang tertunda.
c. Berdasarkan
objek
i) Overmacht lengkap, artinya mengenai
seluruh prestasi itu tidak dapat dipenuhi oleh debitur;
ii) Overmacht sebagian, artinya hanya
sebagian dari prestasi itu yang tidak dapat dipenuhi oleh debitur.
d. Berdasarkan
subjek
i) Overmacht objektif adalah keadaan
memaksa yang mengakibatkan suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan atau
tidak dapat dipenuhi oleh siapa pun, hal ini didasarkan pada teori
ketidakmungkinan (imposibilitas);
ii) Overmacht subjektif adalah keadaan
memaksa yang terjadi apabila pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan
pelaksanaan bagi debitur tertentu. Dalam hal ini, debitur masih mungkin
memenuhi prestasi, tetapi dengan pengorbanan yang besar yang tidak seimbang,
atau menimbulkan bahaya kerugian yang besar sekali bagi debitur. Hal ini di
dalam sistem Anglo American disebut hardship yang menimbulkan hak untuk
renegoisasi.
e. Berdasarkan
ruang lingkup
i)
Overmacht umum,
dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian.
ii) Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya
suatu peraturan (undang-undang atau peraturan pemerintah). Dalam hal ini, tidak
berarti prestasi tidak dapat dilakukan, tetapi prestasi tidak boleh dilakukan.
f. Kriteria
lain dalam ilmu hukum kontrak
i) Ketidakmungkinan
(impossibility) yakni suatu keadaan yang mana seseorang tidak mungkin
lagi melaksanakan kontraknya karena keadaan di luar tanggung jawabnya.
Misalnya, kontrak untuk menjual sebuah rumah, tetapi rumah tersebut hangus
terbakar api sebelum diserahkan kepada pihak pembeli.
ii) Ketidakpraktisan
(impracticability) adalah terjadinya suatu peristiwa juga tanpa
kesalahan dari para pihak, peristiwa tersebut sedemikian rupa, yang mana dengan
peristiwa tersebut para pihak sebenarnya secara teoritis masih mungkin
melakukan prestasinya, tetapi secara praktis terjadi sedemikian rupa sehingga
kalaupun dilaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan
pengorbanan yang besar dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Dengan
demikian, berbeda dengan ketidakmungkinan melaksanakan kontrak, yang mana
kontrak sama sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada ketidakpastian pelaksanaan
kontrak ini, kontrak masih mungkin dilaksanakan, tetapi sudah menjadi tidak
praktis jika terus dipaksakan.
iii) Frustasi
(frustation) adalah frustasi terhadap maksud dari kontrak, yakni dalam
hal ini terjadi peristiwa yang tidak dipertanggungjawabkan kepada salah satu
pihak, kejadian mana mengakibatkan tidak mungkin lagi dicapainya tujuan
dibuatnya kontrak tersebut, sungguhpun sebenarnya para pihak masih mungkin
melaksanakan kontrak tersebut. Karena, tujuan dari kontrak tersebut tidak
mungkin lagi tercapai sehingga dengan demikian kontrak tersebut dalam keadaan
frustasi.
[1] Ahmadi Miru
dan Sakka Pati, Hukum Perikatan
Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai dengan 1456 BW (Jakarta, 2011), hlm.
63-64.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas
Hukum Perjanjian (Bandung: 2011), hlm. 4.
[3] J. Satrio, Hukum Perjanjian (Bandung:
1992), hlm. 23.
[4] R. Soeroso, Perjanjian di Bawah
Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum (Jakarta, 2011), hlm.
12.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Dalam bukunya ditulis dengan hukum
kontrak namun penulis sendiri mempersamakan hukum kontrak dengan hukum
perjanjian.
[12] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan
Perancangan Kontrak (Jakarta, 2013), hlm. 3-5.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan
yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: 2010), hlm. 36-37.
[16] Ibid, hlm. Hlm. 39.
[17] Ahmadi Miru, Op.cit., hlm. 4.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Mariam Darus Badrulzaman, et. al.,
Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: 2001), hlm. 87.
[21] Ahmadi Miru, Op.cit., hlm. 4
[22] Ibid.
[23] Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori
dan Analisa Kasus (Jakarta, 2004), hlm. 4-5.
[24] Ibid, hlm. 5.
[25] Ibid, hlm. 8.
[26] Ibid, hlm. 9.
[27] Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati
Poesoko, Hak Kreditur Separatis dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitur
Pailit (Yogyakarta, 2011), hlm. 57.
[28] Ibid.
[29] Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta,
2002), hlm. 45.
[30] J. Satrio, Hukum Perikatan
(Perikatan pada Umumnya) (Bandung, 1999), hlm. 122.
[31] Ibid, hlm. 128.
[32] Ibid, hlm. 133.
[33] Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati
Poesoko, Op, cit. hlm. 58.
[34] Ibid.
[35] Ibid, hlm. 59.
[36] Ibid.
[37] Ibid, hlm. 59-60.
[38] Ibid, hlm. 60.
[39] Ibid.
[40] Ibid, hlm. 61.
[41] Subekti, Op, cit. hlm. 45.
[42] Mariam Darus Badrulzaman, K. U. H.
Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan (Bandung: 2011), hlm.
37.
[43] Ibid, hlm. 37-38.
[44] Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan
Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-Syarat Pembatalan Perjanjian yang
Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure) (Jakarta, 2010), hlm. 9-10.
Komentar
Posting Komentar