Langsung ke konten utama

Tata Cara Pemeriksaan Gugatan

Tata Cara Pemeriksaan Gugatan  
a.   Sistem Pemeriksaan Secara Contradictoir
Megenai sistem pemeriksaan digariskan dalam Pasal 125 dan Pasal 127 HIR. Menurut ketentuan dimaksud, sistem dan proses pemeriksaan adalah sebagai berikut.
1)    Dihadiri kedua belah pihak secara in person atau kuasa
Dalam praktik pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh para jurusita pengganti dari pengadilan yang bersangkutan. Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 mengatur tentang jurusita dan jurusita pengganti menyangkut tugas dan wewenang (Moh. Taufik Makarao, 2009: 45).
Pemanggilan para pihak secara resmi dan patut untuk menghadiri persidangan yang telah ditentukan merupakan prinsip umum yang harus ditegakkan agar sesuai dengan asas due process of law. Namun ketentuan ini dapat dikesampingkan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi kewenangan bagi hakim melakukan proses pemeriksaan (M. Yahya Harahap, 2011: 69):
a)    Secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut,
b)    Pemeriksaan tanpa bantahan apabila sidang berikut tidak hadir tanpa alasan yang sah. Misalnya, persidangan diundurkan pada hari yang ditentukan oleh hakim. Ternyata penggugat atau tergugat tidak hadir pada hari tersebut tanpa dilanjutkan untuk memeriksa pihak yang hadir tanpa sanggahan (without defense) dari pihak yang tidak hadir.
2)    Proses pemeriksaan berlangsung secara op tegenspraak
Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir. Memberi hak dan kesempatan (opportunity) kepada tergugat untuk membantah dalil penggugat. Sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat. Proses dan sistem seperti ini yang disebut kontradiktor yaitu pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam replik-duplik maupun dalam bentuk konklusi (M. Yahya Harahap, 2011: 69).
b.    Asas Pemeriksaan
1)    Mempertahankan tata hukum perdata (Burgerlijke Rechtsorde)
Dalam penyelesaian perkara melalui proses perdata, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diberikan undang-undang kepadanya, berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice). Untuk mencapai hal itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sesuai dengan kasus yang disengketakan dengan acuan (M. Yahya Harahap, 2011: 70):
a)    menetapkan ketentuan pasal dan peraturan perundang-undangan hukum materiil mana yang tepat diterapkan dalam menyelesaikan sengketa di antara para pihak. Dalam mempertahankan tata hukum perdata dimaksud, pada prinsipnya:
          i.        sedapat mungkin berpatokan dan mengunggulkan (prevail) ketentuan peraturan perundangan hukum positif yang ada,
        ii.        akan tetapi tidak mengurangi kewenangan untuk mencari dan menerapkan nilai-nilai perdata materiil yang hidup dalam kehidupan masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu sesuai dengan kepatutan (appro-priateness) dan kemanusiaan, agar bisa diwujudkan penyelesaian sengketa yang berwawasan dan bernuansa moral justice dan tidak sekadar keadilan menurut hukum (legal justice).
b)    berdasarkan penemuan ketentuan hukum materiil itu, hakim menjadikannya sebagai landasan dan alasan untuk menetapkan. Siapakah di antara pihak yang berperkara yang lebih utama dan lebih sempurna memiliki kebenaran berdasarkan sistem hukum pembuktian yang digariskan undang-undang.
2)    Menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak
Dalam mencari dan menemukan kebenaran, baik kebenaran formil maupun kebenaran materiil, hakim terikat pada batasan-batasan ((M. Yahya Harahap, 2011: 70):
a)    Menyerahkan sepenuhnya kepada kemampuan dan daya upaya para pihak yang berperkara untuk membuktikan kebenaran masing-masing. Berdasarkan kebenaran itulah hakim mempertimbangkan putusan. Tidak boleh melampaui batas-batas fakta dan kebenaran yang dibuktikan para pihak;
b)    Inisiatif untuk mengajukan fakta dan kebenaran berdasarkan pembuktian alat bukti yang dibenarkan undang-undang, sepenuhnya berada di tangan pihak yang berperkara. Hal ini sesuai dengan patokan ajaran pembebanan pembuktian yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR;
c)    Sehubungan dengan itu, pihak-pihak yang berperkara mempunyai pilihan dan kebebasan menentukan sikap, apakah dalil gugatan atau dalil bantahan akan dilawan atau tidak. Sekiranya pun tahu apa yang didalilkan dalam gugatan adalah bohong dan dusta, pihak lawan bebas untuk membantah atau mengakuinya. Sejalan dengan itu, tidak ada kewajiban hukum bagi pihak yang berperkara untuk mengatakan dan menerangkan sesuatu hal atau peristiwa yang diperkirakan merugikan kedudukan dan kepentingannya. Hakim tidak dapat memaksa para pihak untuk melakukan atau menerangkan sesuatu. Namun apabila kepada salah satu pihak hakim membebankan pembuktian, dan hal itu tidak dilaksanakan dan dipenuhi, kelalaian atau keingkaran itu dapat dijadikan dasar penilaian yang merugikan pihak yang bersangkutan.  
3)    Tugas hakim menemukan kebenaran formil
Dikarenakan beban pembuktian (burden of proof) dipikul oleh para pihak yang kemudian diajukan ke persidangan, maka setelah hakim dalam persidangan menampung dan menerima segala sesuatu kebenaran tersebut, dia harus menetapkan kebenaran itu. Sejauh mana dan dalam bentuk serta wujud kebenaran yang bagaimana yang harus ditegakkan, para ahli hukum dan praktik peradilan berpendapat (M. Yahya Harahap, 2011: 71):
a)    Cukup dalam bentuk kebenaran formil (formiele waarheid), yaitu cukup sebatas kebenaran yang sesuai dengan formalitas yang diatur oleh hukum;
b)    Hakim tidak dituntut mencari dan menemukan kebenaran materiil (materiele waarheid) atau kebenaran hakiki (ultimate truth) berlandaskan keyakinan hati nurani.

4)    Persidangan terbuka untuk umum
Prinsip ini menurut Pasal 17 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, dan sekarang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 harus diterapkan dan dilaksanakan dengan ancaman pelanggaran atasnya, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Penyimpangan asas ini menurut Pasal 17 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sekarang Pasal 19 ayat (2) Tahun 2004 hanya dimungkinkan apabila undang-undang menentukan lain. Salah satu ketentuan yang membolehkan pemeriksaan persidangan dengan pintu tertutup, diatur dalam Pasal 33 PP No. 1975 yang menegaskan, pemeriksaan gugatan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup. Dalam kasus perceraian terjadi akibat hukum yang bertolak belakang dengan prinsip sidang terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan perceraian, apabila dilakukan terbuka untuk umum, mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Akan tetapi, meskipun dimungkinkan melakukan pemeriksaan secara tertutup, harus tetap diperhatikan peringatan Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 sekarang Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 yang menegaskan (M. Yahya Harahap, 2011: 72):
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Oleh karena itu, meskipun dalam kasus tertentu dibolehkan pemeriksaan tertutup, namun putusan harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.   
5)    Audi alteram partem
Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang. Pengadilan atau majelis yang memimpin pemeriksaan persidangan, wajib memberikan kesempatan yang sama (to give the same opportunity to each party) untuk mengajukan pembelaan kepentingan masing-masing (M. Yahya Harahap, 2011: 72).
6)    Asas imparsialitas

Pengadilan atau hakim tidak boleh bersikap memihak atau menyebelah kepada salah satu pihak. Hakim tidak dibenarkan menjadikan proses pemeriksaan persidangan hanya menguntungkan kepentingan salah satu pihak. Jalannya proses pemeriksaan persidangan harus benar-benar mencerminkan fair trial (peradilan yang jujur dan adil), tidak memihak, tidak diskriminatif, tetapi mendudukkan para pihak dalam keadaan setara di depan hukum (equal before the law) (M. Yahya Harahap, 2011: 73). 

Sumber:

M. Yahya Harahap. 2011. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta.

Moh. Taufik Makarao. 2009. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Rineka Cipta: Jakarta. 

Komentar

  1. Best Slots, Table Games and Casinos (2021)
    Discover the best online slots casinos of luckyclub.live 2020! We provide free games and bonuses to new and old players. Check out the games, the latest casino news,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Berharga dan Surat yang Berharga

1.     Surat Berharga dan Surat yang Berharga Dalam dunia perusahaan dan perdagangan, dikenal bermacam-macam surat yang pada umumnya orang mengatakan itu sebagai seurat berharga. Orang mengatakan itu surat berharga berdasarkan kenyataan bahwa surat itu mempunyai nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang, atau apa yang tersebut dalam surat itu dapat dinilai atau ditukar dengan uang. Surat-surat itu berupa wesel, aksep, cek, saham, obligasi, konosemen, ceel, karcis kereta api, surat penitipan barang, dan lain-lain. [1] Pengertian orang tentang surat berharga seperti tersebut sebenarnya tidak tepat. Yang dimaksud dengan surat berharga dalam pengertian hukum dagang tidaklah demikian. Untuk menuju kepada pengertian surat berharga yang menjadi objek pembicaraan, seperti yang diatur dalam KUHD, terlebih dahulu perlu dibedakan dua macam surat yaitu: [2] 1.     Surat berharga, terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “ waarde papier” , di negara- negara Anglo Saxon diken

Formulasi Surat Gugatan

  Formulasi Surat Gugatan Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan ( formulation ) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang benar, apa yang dikemukakan Prof. Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR, tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi ( posita ) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding . Adapun hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan yaitu (M. Yahya Harahap, 2011: 51): a.     Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan Kompetensi Relatif